Riwayat dan Kodifikasi Hadits Ala Brown
Riwayat
dan kodifikasi Hadits menjadi perhatian tersendiri dalam studi Islam, tidak
terkecuali bagi orientalis seperti Jonathan A.C. Brown yang membahas tentang
riwayat, kodifikasi, dan dinamika studi kritik Hadits. Menurut Brown, Hadits
adalah sebuah pepatah otoritatif yang digunakan untuk menguraikan hukum dan
dogma Islam, dan merupakan bentuk warisan kharismatik Nabi juga untuk memenuhi
kewenangan Nabi. Bagi Brown, Hadits merupakan warisan Nabi untuk masyarakat
abad pertengahan dan modern yang telah menjadi sebuah buku (kitab) atau semacam
kodifikasi Hadits, diantaranya dengan adanya kitab-kitab Shahih (Bukhari
dan Muslim), kitab Sunan, dan kitab Musnad. Kualitas periwayatan
yang diterima oleh para sahabat Nabi juga berpengaruh terhadap otoritas sebuah
kitab Hadits tersebut. Apa yang dikatakan Brown sebenarnya bukan hal baru,
dalam tradisi Islam, yang sudah diakui bahwa hirarki rawi dilihat dari
jumlah Hadits yang diriwayatkan dimulai dari Abu Hurairah (5300 Hadits), Ibnu Umar (2600 Hadits), Anas bin
Malik (2300 Hadits), Aisyah (2200 Hadits), dan Ibn 'Abbas (1700 Hadits).
Kodifikasi
Hadits yang dimulai sejak beberapa abad setelah wafatnya Nabi pada masa
khalifah Umar bin Abdul Aziz, mengalami puncaknya pada abad ke-10, setelah itu
dimensi perdebatan mengenai Hadits bertumpu pada studi otoritas Nabi melalui
jalur sanad (mata rantai). Brown juga mengatakan bahwa tradisi periwayatan juga terjadi dalam
sekte Syi’ah, tidak hanya berlaku bagi kaum Sunni. Adanya kodifikasi Hadits, sebenarnya
juga tidak lepas dari kebutuhan sosial pada masa abad pertengahan dan modern,
dan tidak lepas dari persoalan hukum fikih. Adanya kitab Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) adalah indikasi kebutuhan
umat Islam terhadap persoalan hukum, akhirnya otoritas Shahihain dianggap sebagai kitab hukum kedua setelah al-Qur’an.
Dinamika pemalsuan
Hadits yang terjadi sejak dulu merupakan salah satu alasan Brown untuk
menelusuri sejarah kanonisasi Hadits, karena bukan tidak mungkin ada sebuah
distorsi dalam periwayatan Hadits sejak Nabi wafat hingga sekarang. Perdebatan
mengenai keshahihan Hadits telah terjadi sejak dulu (sekitar abad ke-8). Jadi,
apa yang dilakukan oleh para orientalis yang mengkritik status Hadits dari
segala lini (matan maupun sanad) bukanlah hal baru. Disitulah
fungsi dari kodifikasi Hadits, setidaknya untuk menjaga Hadits-hadits yang
sumber periwayatannya akurat.
Dalam
karyanya, Brown juga mengkritik beberapa orientalis yang skeptis terhadap Hadits, seperti Josep Schacht, Ignaz Goldziher,
Juynboll dan lainnya. Dalam karyanya juga, Brown mengatakan bahwa sejarah
periwayatan dan kodifikasi Hadits cukup kompleks, di dalamnya tidak lepas dari
distorsi dan pemalsuan Hadits, karena kodifikasi Hadits dilakukan setelah
beberapa abad sejak wafatnya Nabi (pertengahan abad ke-7 atau sekitar tahun 634
M). Bahkan dengan banyak munculnya sekte aliran pada masa itu menjadikan versi
periwayatan sangat beragam, tidak hanya terjadi pada kaum Sunni. Jadi,
kodifikasi Hadits dalam bentuk kitab yang telah berhasil dijadikan pedoman
ke-dua setelah al-Qur’an, merupakan warisan Nabi untuk masyarakat pada masa
abad pertengahan dan modern.
Dalam
tradisi penulisan Sunni akhir sekitar abad ke-11, materi dalam kitab-kitab
Hadits yang dijadikan sebagai koleksi tambahan hukum atau bahkan prestasi besar
dalam sejarah kodifikasi Hadits telah berhasil dikonsolidasi dalam bentuk hukum-hukum
fikih dan dogma ke-Islaman, bahkan hingga munculnya Jami’ul Jawami’ dan Jami’ul
Kabir karya Jalaluddin al-Suyuthi sebagai sarjanawan Sunni.
Sayangnya,
Brown tidak mengungkapkan bagian mana yang menjadi kelebihan dari otentisitas
Hadits itu sendiri, tapi ada beberapa indikasi bahwa Brown bukanlah orientalis
yang skeptis terhadap Hadits, dan lebih cenderung hanya memaparkan sejarah
dinamika mengenai kontroversi sanad dan periwayatan dan kodifikasi Hadits,
yaitu dengan beberapa kutipan kitab klasik ilmuwan Muslim. Sekian dan Terimakasih. (Ade Chariri)
Komentar
Posting Komentar