Sisi Lain Covid-19
—Ade Chariri
Covid-19 atau Corona Virus Disease yang sedang
melanda dunia, belum bisa dipastikan kapan virus ini akan berakhir. Kapan akan
selesai. Dan kapan akan punah. Juga, kapan —beberapa manusia— akan sepenuhnya
paham bahwa ini wabah yang dapat diikhtiarkan untuk dihindari dan disembuhkan?!
Sampai tulisan ini selesai ditulis (24 Maret 2020), data
positif corona di Indonesia mencapai 579, sembuh 30, meninggal 49, dan data global
381.443, sembuh 102.423, meninggal 16.550. Jumlah tersebut terus bertambah dan
sukar dikendalikan, bahkan sekedar diprediksi. Ada banyak hal yang bisa dibahas
dari mewabahnya corona ini, selain tentang “penyakitnya”.
Maulana M. Syuhada memilih menulis pola ketersebaran virus
corona melalui paradigma “egosime dalam beragama” yang dilansir pepnews.com. Menurut
Mas Maulana, Tabligh Akbar di Malaysia yang dihadiri dari berbagai Negara;
Indonesia, Filipina, Singapura dan lainnya, merupakan satu pola keegoisan dalam
beragama di tengah wabah corona yang sedang melanda dunia. Mereka —para jamaah— tidak
menyadari bahaya penyebaran virus corona dalam kerumunan massa. Selain itu, acara
pentasbihan Uskup Ruteng Mgr Siprianus Hormat, tetap digelar, walupun sudah
diimbau untuk ditunda karena ada kerumunan massa di situ. Pola “egoisme dalam
beragama" lainnya ialah semisal pernyataan tokoh agama seperti UAS yang
menyebut bahwa corona adalah tentara Allah, sehingga masyarakat Muslim Uighur
di Tiongkok tidak ada yang terjangkit, sebelum akhirnya melanda di banyak
Negara Islam, seperti Arab Saudi, Maroko, Iran, hingga Indonesia yang mayoritas
Muslim.
Sedikit berbeda dengan di atas, aku ingin melihat dari
paradigma lain, yaitu terkait penggunaan media dalam “beragama” untuk
menyikapi —penolakan— keterpaparan virus. Bahwa dampak dari wabah ini, beberapa
lembaga pendidikan formal, memilih "meliburkan" siswanya, namun guru
tetap masuk, beberapanya lagi memilih "meliburkan" total seluruh
warga lembaga pendidikan atau sekolah.
Hal yang sama juga berlaku pada dunia usaha dan dunia kerja
bidang lainnya. Banyak yang "melockdownkan" diri demi menghindari
resiko. Para karyawan “diliburkan” atau dengan WFH (Work From Home). Akhirnya,
sistem online atau daring (dalam jaringan) pun berlaku pada
banyak lini kehidupan, termasuk dalam hal mengaji.
Aku, sebagai pelaku dari mengaji online tersebut, merasa
perlu untuk berbagi, setidaknya hanya sekedar bercerita. Dari situ, aku ingin
melihat melalui paradigma Goran Larrson, tentang Muslim and the New Media.
Begini; praktik kerja, mengajar, atau mengaji online yang dijalankan, semisal setoran hafalan —yang aku lakukan—, benar-benar menunjukkan perbedaan dalam menyikapi sebuah “sistem agama”. Ini yang disebut dengan "otoritas media" terhadap pola keagamaan.
Begini; praktik kerja, mengajar, atau mengaji online yang dijalankan, semisal setoran hafalan —yang aku lakukan—, benar-benar menunjukkan perbedaan dalam menyikapi sebuah “sistem agama”. Ini yang disebut dengan "otoritas media" terhadap pola keagamaan.
Melalui ngaji online ini, ada satu perbedaan mendasar
dibandingkan tatap muka langsung. Lewat online, mereka —muridku— justru bisa
mengoreksi secara langsung hafalan yang mereka setorkan, tentu dengan
“bantuan” orang yang disekelilingnya, entah orang tua, teman atau saudara —bagi
seusia siswa. Kemudian mereka mengirim pesan kepadaku, yang intinya mohon untuk mengirimkan koreksian juga, baik
dengan tulisan, lisan (voice note) maupun video. Sering juga aku
menggunakan aplikasi atau web Zoom Meetings dengan mahasiswa(ku).
Hal yang sedikit
berbeda terjadi ketika sistem “offline” atau ketika tatap muka langsung, mereka akan
cenderung sukar untuk menyadari “kesalahan” setoran mereka, malah ada
yang setelah setoran, yasudah selesai; bagi seusia mahasiswa langsung memainkan
gawainya, bagi seusia siswa langsung bermain (hal ini wajar menurtku).
Mengapa demikian? Bisa jadi, rekaman ngaji mereka di-replay
sendiri, akhirnya mereka meyadari beberapa titik kesalahan dan berhasil
mengoreksinya. Pola tersebut, bagiku baik, artinya, ada sistem self-correction.
Semua itu, karena media —juga corona.
Selain itu, yang dimaksud dengan Muslim and the New Media
dalam scoop lain ialah, bahwa memang banyak yang meyakini, model mengaji
online sama halnya dengan mengaji langsung —dalam hal sanad dan
keilmuan—. Hal tersebut ada benarnya, sebab era sekarang, media sudah menjadi
wasilah (perantara) keilmuan, itulah mengapa, ngaji online banyak tersedia di
kanal-kanal media, semisal YouTube, dengan sistem live streaming maupun unggah video. Dan hal tersebut
diyakini sebagai bagian dari “thalabul ‘ilm yang sesungguhnya”. Sekedar tambahan, kalau mau ngaji online, cari Ustaz atau Ulama yang kredibel yaaa. Biar tidak "menyesatkan", termasuk soal corona ini. Contoh yang kredibel; Gus Baha, dan lainnya.
Narasi-narasi di atas, merupakan gambaran bagaimana melalui
media, “agama tetap bermain” di tengah wabah yang terjadi di era modern seperti
sekarang. Lain halnya ketika zaman Nabi ketika, yang dari beberapa
riwayat, datangnya wabah Tha’un, dan pada saat itu, jelas belum ada media
daring.
Akhirnya, sebagai Muslim beriman —yang masih sering
bermaksiat—, melalui virus corona ini, ada banyak hal ihwal yang dapat aku
renungi. Pertama; pola mengaji online yang hampir setiap hari dilakukan dan
entah hingga kapan, yang juga aku niatkan sebagai ikhtiar batin dalam menyikapi
wabah corona ini.
Kedua, pola menjaga diri dan orang sekitar, dengan ikhtiar
lahir semisal pola hidup sehat sesuai arahan Kemenkes dan WHO, sedia hand
sanitizer, masker, jaga jarak atau social distancing, mengkarantina diri
selama minimal 14 hari, atau lainnya. Yang semuanya itu tidak bisa disepelekan
sak penake dewe.
Selain itu. ikhtiar batin juga sangat penting —sebab kita
hamba—. Semisal berdoa dengan amalan
atau wirid yang banyak disadur dari banyak referensi —yang juga banyak
bermunculan di media—, seperti doa;
(1) Allāhumma Şalli 'alā Sayyidinā
Muhammad Wa 'Alā Ali Sayyidinā Muhammad-Bi'adādi Kulli Dā-in wa Dawā-in.
(2) Bismillahilladzi Lā Yaḍurru Ma'asmihi
Syai-un Fil Ardhi Wa Lā Fissamā'i Wahuwassami'ul 'Alīm.
(3) Yā Fārijal Hamm Yā
Kāsyifal Ghamm Ya Man Li'abdihi Yaghfiru Wa Yarham.
(4) A'ūdzubika
Limatillāhittâmāti Min Syarrima Khalaq.
Atau dengan Shalawat Thibbil Qulub, Ratibul
Haddad-nya Habib Abdillah Ibn ‘Alawi al-Haddad, Hizib Bahr-nya Imam al-Syadzili,
Hizb Autad-nya Syekh 'Abd al-Qadir al-Jilani, Qasidah Burdah, dan lainnya. Yang perlu jadi catatan adalah; memang ada beberapa doa, tidak
dikhususkan untuk sebuah wabah tertentu, seperti corona, namun doa yang bersifat umum —dalam konteks wabah— untuk memohon
perlindungan Allah dan bermunajat kepada Allah perantara Shalawat kepada
Rasulullah, semoga diselamatkan dari segala wabah.
Pesan bapakku kepadaku dan istriku, juga keluarga besarku;
“mudawwamkan saja Ratibul Haddad, karena di dalamnya banyak mengandung doa-doa
isti’adza (perlindungan) dan doa hifđul balayā wa al-mașā’ib (penjagaan dari
cobaan dan berbagai kegelisahan atau gangguan). InsyaAllah hasil maqsud”
Pemerintah juga sudah menginstruksikan untuk social
distancing atau bahkan lockdown lokal bagi beberapa daerah. Ternyata
hal tersebut senada dengan Hadis Rasulullah; “Jika kalian mendengar
(adanya) wabah di suatu daerah, jangan memasukinya. Jika terjadi wabah di
tempat kamu berada, jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. Imam Bukhari).
Happy self quarantine. Semoga, kita selalu diberikan
perlindungan dan keselamatan oleh Allah. Ȃmīn.
Wallahu A’lam.
Wallahu A’lam.
😇
BalasHapus