Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2017

Relasi Tuhan dan Manusia Menurut Izutsu

Izutsu mengawali bab ke-empatnya dengan sedikit mengupas peran Tuhan (Allah) dengan kajian semantics sebagai sebuah hal yang theosentris dalam Weltanschauung (pandangan luas tentang realitas dunia) al-Qur’an. Allah merupakan ‘istilah tertinggi’ dalam al-Qur’an, begitupun bagi umat Islam bahwa Allah merupakan Tuhan satu-satunya. Menurut Izutsu,  apapun yang akan kita lakukan dalam al-Qur’an, termasuk menafsirkan al-Qur’an harus dilakukan dari awal, menurut penulis hal ini sama sebagaimana konsep umat Islam yang memuji Allah dalam berbagai aktivitas posistiv. Nama ‘Allah’ sebenarnya tidak hanya berlaku bagi umat Islam, akan tetapi juga berlaku bagi kaum Jahiliyah atau umat selain Islam. Dalam wilayah diskursus pengetahuan theologis, atau aktivitas sehari-sehari, kata ‘Allah’ merupakan sebuah nama, dan setiap nama merupakan simbol yang tentu saja mempunyai makna. Pernyataan Izutsu inilah yang mendorong dirinya sendiri untuk mengetahui makna kata ‘Allah’ dan relasinya dengan manusia.

Semiotika Surah Al-Kahfi

Teks narasi yang terdapat dalam al-Qur’an memang terkadang tidak menyajikan kronologi yang runtut dari awal hingga akhir kisah, kecuali Q.S. Yusuf. Bagi umat Islam yang hanya sekedar membaca Q.S. al-Kahfi dan Q.S. Yusuf memandangnya hanya sebagai narasi kisah tentang kehidupan umat masa itu (konteks pewahyuan). Namun, jika dianalisa lebih mendalam dengan teori semiotika (teori tentang simbol dan makna) seperti apa yang dilakukan oleh Ian Richard Netton, akan menemukan makna yang lebih dari sekedar ayat kisah tentang Nabi. Di dalam Q.S. Yusuf menceritakan satu tokoh secara kronologis, yaitu Nabi Yusuf, sedangkan Q.S. al-Kahfi berisi banyak kisah dari tokoh pada masa pewahyuan, diantaranya kisah Ashabul Kahfi, Nabi Musa dan Nabi Khidzir, Dzul Qarnain, Ya’juj-Ma’juj dan Ashabul Jannah (pemilik kebun). Kisah-kisah yang ada dalam Q.S. al-Kahfi menarasikan hanya sebagian kisah tanpa kesimpulan tema yang pasti. Melalui semiotika, Netton mencoba mengidentifikasi masing-masing tokoh sebaga

Riwayat dan Kodifikasi Hadits Ala Brown

Riwayat dan kodifikasi Hadits menjadi perhatian tersendiri dalam studi Islam, tidak terkecuali bagi orientalis seperti Jonathan A.C. Brown yang membahas tentang riwayat, kodifikasi, dan dinamika studi kritik Hadits. Menurut Brown, Hadits adalah sebuah pepatah otoritatif yang digunakan untuk menguraikan hukum dan dogma Islam, dan merupakan bentuk warisan kharismatik Nabi juga untuk memenuhi kewenangan Nabi. Bagi Brown, Hadits merupakan warisan Nabi untuk masyarakat abad pertengahan dan modern yang telah menjadi sebuah buku (kitab) atau semacam kodifikasi Hadits, diantaranya dengan adanya kitab-kitab Shahih (Bukhari dan Muslim), kitab Sunan, dan kitab Musnad . Kualitas periwayatan yang diterima oleh para sahabat Nabi juga berpengaruh terhadap otoritas sebuah kitab Hadits tersebut. Apa yang dikatakan Brown sebenarnya bukan hal baru, dalam tradisi Islam, yang sudah diakui bahwa hirarki rawi dilihat dari jumlah Hadits yang diriwayatkan dimulai dari Abu Hurairah (5300  Hadits), Ibnu Umar