Semiotika Surah Al-Kahfi

Teks narasi yang terdapat dalam al-Qur’an memang terkadang tidak menyajikan kronologi yang runtut dari awal hingga akhir kisah, kecuali Q.S. Yusuf. Bagi umat Islam yang hanya sekedar membaca Q.S. al-Kahfi dan Q.S. Yusuf memandangnya hanya sebagai narasi kisah tentang kehidupan umat masa itu (konteks pewahyuan). Namun, jika dianalisa lebih mendalam dengan teori semiotika (teori tentang simbol dan makna) seperti apa yang dilakukan oleh Ian Richard Netton, akan menemukan makna yang lebih dari sekedar ayat kisah tentang Nabi. Di dalam Q.S. Yusuf menceritakan satu tokoh secara kronologis, yaitu Nabi Yusuf, sedangkan Q.S. al-Kahfi berisi banyak kisah dari tokoh pada masa pewahyuan, diantaranya kisah Ashabul Kahfi, Nabi Musa dan Nabi Khidzir, Dzul Qarnain, Ya’juj-Ma’juj dan Ashabul Jannah (pemilik kebun).

Kisah-kisah yang ada dalam Q.S. al-Kahfi menarasikan hanya sebagian kisah tanpa kesimpulan tema yang pasti. Melalui semiotika, Netton mencoba mengidentifikasi masing-masing tokoh sebagai arketip utama dalam Q.S. al-Kahfi, Netton menyebutnya sebagai theologemes. Artinya, bahwa masing-masing kisah tersebut bermuara pada satu kesimpulan, yaitu tentang theology. Netton mengakui bahwa dia merujuk dari al-Ghazali, namun Netton melihat dari sudut yang berbeda melalui semiotika.

Dari analisanya tersebut, Netton menarasikan bahwa Ashabul Kahfi sebagai sekelompok muslim beriman yang pasif, karena Ashabul Kahfi tidur sangat lama di dalam sebuag gua (sekitar 300 tahun, atau dalam salah satu versi menyebutkan selama 3000 tahun) setelah dikejar oleh kaum kafir. Nabi Musa sebagai seorang mukmin yang aktif, juga sebagai akademisi pada masanya yang kritis, indikasinya saat Nabi Musa bertanya kepada Nabi Khidzir yang membunuh seorang bayi dan melubangi kapal yang dinaiki Nabi Musa dan Nabi Khidzir. Peran Nabi Khidzir sebagai seorang mukmin yang sufistik, Dzul Qarnain sebagai negarawan atau politisi, karena sebagai Raja yang mengatur kepemerintahan, Ya’juj-Ma’juj sebagai perusak bumi, dan Ashabul Jannah dinarasikan sebagai pengusaha.

Dari kelima arketip pembagian Netton tersebut, semuanya bermuara pada nilai theologis, atau yang disebut dengan theologemes, karena dari kisah-kisah tersebut semuanya benar-benar menunjukkan kuasa Tuhan dalam mengatur kejadian yang terkisahkan dalam Q.S. al-Kahfi tersebut. Sayangnya, ketika Netton menyebut Nabi Musa sebagai hero (pahlawan), namun dalam Q.S. al-Kahfi tersebut sebenarnya tidak disebutkan sebab ke-hero-an Nabi Musa. Dari sini memberikan indikasi bahwa peran munasabah ayat perlu diterapkan dalam kajian penafsiran al-Qur’an. Sekia dan Terimakasih. (Ade Chariri)   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orientalisme dan al-Qur'an

Riwayat dan Kodifikasi Hadits Ala Brown

Al-Qur'an sebagai Kitab Budaya?