Relasi Tuhan dan Manusia Menurut Izutsu
Izutsu
mengawali bab ke-empatnya dengan sedikit mengupas peran Tuhan (Allah) dengan
kajian semantics sebagai sebuah hal
yang theosentris dalam Weltanschauung (pandangan luas tentang realitas dunia) al-Qur’an. Allah merupakan ‘istilah
tertinggi’ dalam al-Qur’an, begitupun bagi umat Islam bahwa Allah merupakan
Tuhan satu-satunya. Menurut Izutsu,
apapun yang akan kita lakukan dalam al-Qur’an, termasuk menafsirkan
al-Qur’an harus dilakukan dari awal, menurut penulis hal ini sama sebagaimana
konsep umat Islam yang memuji Allah dalam berbagai aktivitas posistiv.
Nama
‘Allah’ sebenarnya tidak hanya berlaku bagi umat Islam, akan tetapi juga
berlaku bagi kaum Jahiliyah atau umat selain Islam. Dalam wilayah diskursus
pengetahuan theologis, atau aktivitas sehari-sehari, kata ‘Allah’ merupakan
sebuah nama, dan setiap nama merupakan simbol yang tentu saja mempunyai makna.
Pernyataan Izutsu inilah yang mendorong dirinya sendiri untuk mengetahui makna
kata ‘Allah’ dan relasinya dengan manusia.
Dalam tradisi Arab pada masa pra-Islam hingga sampai sarjanawan Barat
mengatakan arti dari kata ‘Allah’ adalah ‘Tuhan’ menjadi sebuah kajian yang
menarik. Sebab, pada masa Jahiliyah, pemahaman terhadap Tuhan sangat beragam,
bahkan setiap komunitas memiliki Tuhan-nya masing-masing, dan ada juga Tuhan lokal
dalam budaya mereka.
Dalam
al-Qur’an yang telah berhasil di-wahyu-kan kepada Nabi Muhamad dan perlahan
hingga akhirnya bisa diterima oleh beberapa kaum Arab (pagan), mereka mulai
sedikit memahami bahwa Allah merupakan Tuhan tertinggi dalam segala aspek.
Meskipun pada saat itu budaya antara umat Yahudi, (Nasrani) Kristiani dan Islam tidak bisa
saling terlepas. Artinya bahwa diskusi aktivitas tentang ketuhanan masih terus
berlanjut. Hanya saja pemaknaan setiap agama tehadap kata ‘Allah’ tentu sangat
beragam.
Hingga
pada sebuah kesimpulan bahwa meaning dari kata ‘Allah’ dan relasinya terhadap
manusia dalam al-Qur’an secara metode semantics
Izutsu, mempunyai empat makna; (1) relasi ontologis, bahwa Tuhan merupakan
nilai eksistensi yang wujud dengan sendirinya, (2) relasi komunikasi, Tuhan dan
manusia saling berkomunikasi seperti apa yang diyakini umat Islam atau umat
lainnya dalam tradisi berdo’a kepada Tuhan, (3) relasi tuan-budak, peran Allah
sebagai ‘tuan’ yang mempunyai kuasa, dan manusia sebagai budak (hamba) yang
mempunyai sifat dasar meng-hamba (bekerja kemudian meminta), dan (4) relasi etika, bahwa keyakinan
terhadap wujud Allah adalah mutlak dan manusia sebagai sebab kemutlakan-Nya.
Analisa
penulis dalam pembagian relasi Tuhan dan manusia menurut Izutsu, adalah bahwa
‘makna’ peran Allah terhadap manusia sudah ada bagi tradisi Islam itu sendiri,
dengan adanya syi’ir ‘sifat wajib bagi Allah’, di dalamnya memuat segala aspek
kehidupan bagi manusia dengan menyebutkan dominasi Allah terhadap segala
makhluk, namun bagaimanapun, penafsiran Izutsu ini cukup penting, khususnya
bagi khazanah pengetahuan ke-Islam-an. Sekian dan Terimakasih. (Ade Chariri)
Komentar
Posting Komentar