Embrio Hermeneutika Dalam Tafsir Klasik
Dalam Disertasi Khaled Troudi yang
berjudul Qurʾānic Hermeneutics with Reference to Narratives; A Study in
Classical Exegetical Tradition, mencoba
mengungkapkan adanya misi hermeneutika dalam penafsiran para penafsir klasik.
Mengacu pada pembagian tokoh klasik yang dikaji oleh Troudi, maka yang dimaksud
periode klasik di sini ialah dimulai pada tahun sekitar 270 H/890 M. Adapun
para tokoh klasik yang disebutkan oleh Troudi ialah: Hūd Ibn Muḥakkim al-Hawwārī (w. 280
H/893 M), Abū Jaʿfar Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī
(w. 310 H/923 M), Abū Isḥāq Aḥmad ibn Muḥammad ibn Ibrāhīm
al-Thaʿlabī (w. 427 H/1035 M), Abū Qāsim Jārullāh Mahmud bin ʿUmar
al-Zamakhsharī (w. 538 H/1144 M), Abū ʿAlī Faḍl ibn al-Ḥasan ibn
al-Faḍl al-Ṭabrisī (w. 548 H/1154 M), Abū ʿAbdullāh bin ʿUmar bin Ḥusayn
Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 606 H/1209 M), Abū Muḥammad ibn Abī Naṣr Shīrāzī
Ruzbihān al-Baqlī (w. 606 H/1209 M), dan Niẓām al-Dīn bin al-Ḥasan ibn al-Ḥusayn
al-Khurāsānī Nisābūrī (w. 728 H/ 1327 M).
Meninjau kembali dalam kajian ‘ulum
al-tafsir bahwa para penafsir klasik dalam menafsirkan Alquran pada umumnya
menggunakan riwayat yang bersumber dari Hadits, Khabar maupun Atsar, maka
kebanyakan produk tafsir klasik disebut tafsir bi al-ma’tsur, namun ada
juga yang bersumber dari logika yang biasa disebut dengan tafsri bi al-ra’yi.
Pokok yang dibahas oleh Troudi adalah tafsir klasik yang sumber
penafsirannya dari riwayat. Sebagai permulaan dalam penelitiannya terhadap
konsep hermeneutika pada tafsir klasik, teori yang dibawa Troudi ialah melakukan
understanding the textual narratives, kemudian Troudi meninjau historical
aspects dan theological aspects. Pemahaman hermeneutika pada masa
klasik, dibangun atas beberapa konsep, ialah kisah para Nabi (yang ada dalam
Alquran), Hadits, dan Atsar, Troudi juga mengungkapkan bahwa metode penafsiran
berbasis understanding the textual narratives bersumber dari Alquran,
Hadits, grammar termasuk leksikografi dan linguistik, juga
kisah-kisah mistik dan konsep ketuhanan.
Bagi penulis, sesuatu yang baru
telah ditawarkan Troudi dalam Disertasinya, yang mengatakan bahwa konsep atau
embrio hermeneutika sebenarnya sudah terjadi sejak dahulu melalui produk tafsir
tokoh klasik. Argumentasinya ialah bahwa selama ini hermeneutika dianggap erat
kaitannya dengan mengungkapkan sisi filosofi ayat Alquran yang kemudian
berusaha mencari fungsi ayatnya dengan tinjauan historis pewahyuan dan kegunaan
di masa sekarang, yang telah banyak berkembang melalui tokoh kontemporer
seperti Fazlur Rahman dengan double movement-nya atau Garcia dengan
konsep meaning function-nya, dan lainnya. Dari sinilah, pentingnya
membahas teori understanding the textual narratives Troudi. Maka, yang
dimaksud Troudi ialah bahwa melalui teks narasi (konsen Troudi terhadap
ayat-ayat kisah dalam Alquran) yang bersumber dari riwayat kemudian memahami
sisi histori dan konsep ketuhanan-nya, sebenarnya sudah mampu menggali
‘semangat’ dari sebuah ayat, karena bagi Troudi, langkah tersebut sudah mampu
membaca mikro dan makro sebuah teks. Bagi Khlaed, hal itu merupakan konsep awal
hermeneutika Alquran.
Pada
pembahasan aspek sejarah (history), para penafsir klasik seperti Imam
al-Thabari, al-Zamakhsharī dan ulama-ulama lain yang hidup se-zamannya telah menggunakan metode penafsiran bi al-ma’tsur, yang mana dalam
metode tersebut selalu mengkaitkan dengan riwayat Hadits Nabi dan qaul
sahabat (Atsar). Secara
langsung metode tersebut tidak pernah menafikan aspek tradisi, sosial,
antropologi dan segala sesuatu yang berkaitan dengan zaman Nabi Muhammad saw. Selain dari sudut pandang sejarah,
para ulama klasik juga memperhatikan bagaimana pembagian dalil atau dasar
sebagai pedoman beragama (ushuluddin).
Para penafsir klasik seperti Imam al-Thabari-pun tidak sembarangan dalam menggunakan Hadits sebagai penjelas ayat Alquran, beliau selalu memproritaskan Hadits-hadits shahih. “They often relied upon historical reports, some of which could be found in the Qurʾān, thereby allowing them to explain the event by means of other verses. But most of the time they used reports attributed to the Prophet, as well as other external documents, artifacts, archeological, and anthropological evidence.”
Para penafsir klasik seperti Imam al-Thabari-pun tidak sembarangan dalam menggunakan Hadits sebagai penjelas ayat Alquran, beliau selalu memproritaskan Hadits-hadits shahih. “They often relied upon historical reports, some of which could be found in the Qurʾān, thereby allowing them to explain the event by means of other verses. But most of the time they used reports attributed to the Prophet, as well as other external documents, artifacts, archeological, and anthropological evidence.”
Kutipan
teks di atas yang terdapat pada Disertasi Troudi, sebagai gambaran kecil pemaparan
atau gagasan Troudi tentang hubungan histori terhadap penafsiran teks, histori
tidak hanya berarti sejarah, lebih dari itu relevansi histori dalam penafsiran
adalah pengambilan sebuah Hadits, dokumen-dokumen, arsip dan teks lain yang
berkaitan dengan kehidupan di zaman Nabi Muhammad saw. Kemudian memahami
narasi tersebut dengan ‘semangat’ fungsionalnya, dari situlah peran
hermeneutika dari sisi histori.
Pengertian antara Nabi
dan Rasul sebagai dasar utama dalam memahami teks, dan teks yang dibawa oleh
Rasul adalah sebuah wahyu, ke-otentikkan sebuah teks yang dianggap sebagai
wahyu harus memiliki benih rasionalitas, sehingga dapat diterima oleh para umat
(penganut), dalam hal ini adalah umat Nabi Muhammad saw. Selain itu, kaitannya dengan Rasul yang datang sebelumnya,
bagaimana hubungannya wahyu atau kitab yang disampaikan, untuk mengetahui itu
semua ialah dengan menggunakan sebuah analisa yang pada akhirnya memberikan
kesimpulan akhir bahwa setiap Rasul yang diberi wahyu (kitab) harus diterima
oleh para penganutnya dengan keyakinan.
Dari
aspek teologi memang sangat penting sekali untuk diulas, sebab para penafsir
klasik tidak menyampaikan secara tersurat, tetapi dari cara penafsiran dan
pengambilan dasar sebagai penjelas seperti Hadits dan qaul sahabat itu
membutuhkan pengamatan dari segi keshahihan sebuah Hadits, dalam hal ini
bisa ditarik sebuah kesimpulan sederhana bahwa itu semua membutuhkan sebuah
kepercayaan seorang mufasir terhadap teks Hadits.
Menurut Troudi, penafsir klasik
telah berhasil mengkonstruk pemahaman terhadap interpretasi makna melalui
riwayat shahih yang dipadukan dengan pemahaman tata bahasa,
leksikografi, sastra, pengalaman agama, sejarah kenabian, konsep mistik (isyari)
tentang ketuhanan. Troudi juga melakukan penelitian dan menggali fungsi dari
sebuah teks narasi melalui asbab al-nuzul yang dikemukakan oleh para penafsir
klasik. Hanya saja, Troudi fokus kepada teks-teks kisah dalam Alquran, seperti
kisah Nabi Ibrahim yang mencari ‘eksistensi’ Tuhan. Teks
narasi Alquran, Rasul (messanger),
dan Sang Pencipta (khaliq), beberapa
aspek tersebut telah memberikan pemahaman bahwa mufasir harus mengetahui teks
yang ditafsirkan, teknis pewahyuan teks Alquran, dan ke-Rasulan Nabi Muhammad saw.
Judul Disertasi Khaled Troudi “Qurʾānic Hermeneutics
with Reference to Narratives: A Study in Classical Exegetical Traditions”
adalah sebuah penelitian baru (2013)
yang memberikan sebuah perkembangan atau pemahaman baru bagi para sarjanawan
Muslim yang berkonsentrasi pada bidang penafsiran teks Alquran, setelah
peninjauan terhadap penelitian tersebut, Troudi melakukan penelitian dengan
mengunkan metode komparasi-kritis-analisis. Sehingga, deskripsi perbandingan
beberapa penafsir klasik yang dipaparkan Troudi dalam periode klasik yang
menurut Troudi sudah mengandung unsur hermeneutika, sedikit memberikan
pemahaman yang argumentatif.
Gagasan
yang menarik tentang narasi sebuah teks Alquran tersebut muncul ketika
perdebatan tentang pro dan kontra dalam menggunakan hermeneutika sebagai alat
untuk menafsirkan Alquran. Histori adalah bagian terpenting bagi para mufasir
kontemporer untuk meninjau teks yang ingin diinterpretasikan, dari pembahasan
histori (sejarah), para mufasir kontemporer harus meninjau bagaimana para
mufasir klasik menginterpretasikan teks Alquran pada saat itu, ia menggunakan
Hadits dan arsip-arsip yang ada di zaman Rasul sebagai penopang untuk memahami
Alquran. Ini mengindikasikan bahwa para mufasir klasik telah menggunakan aspek
histori, meskipun tidak dicatat secara tersurat. Karena teks Hadits, Khabar dan Atsar, menceritakan tentang bagaimana
kondisi sosial-kemasyarakatan yang terjadi pada saat itu, dan ini adalah
sejarah atau histori yang menjadi salah satu dasar dari konsep hermeneutika,
dan bagi Troudi juga penting untuk meninjau aspek theology sebagai filosofi
pemahaman sebuah teks ayat Alquran. Sekian dan Terimakasih (Ade Chariri)
Komentar
Posting Komentar