Wajah Alquran di Politik Muslim
Agaknya, pesta politik
legislatif sudah bergemuruh bersamaan dengan mencuatnya #2019SopoPresidene. hal
ini menandakan kursi DPR masih dan akan terus menggoda bagi para politisi,
akademisi, artis, bahkan pengangguran kayak aku, eh. Banyak info tentang
pendaftaran Bacaleg dengan sejumlah nama beken, seperti 54 artis yang
terbagi dalam 10 partai politik. Bisa jadi, motivasi mereka adalah untuk lebh
peduli dengan rakyat setelah menjalani glamournya dunia per-artisan,
atau sekedar cari ‘panggung entertainment’ kelas satu harapan rakyat
negeri. Bahkan kabarnya, ada satu
temanku dan satu seniorku yang nyalon loh.
Di sisi lain, di daerah
Lhokseumawe ada 23 Bacaleg tidak lolos seleksi baca Alquran. Info dari
serambinews.com disebutkan ada 384 yang mendaftar Caleg di Lhokseumawe dari 17
parpol (nasional maupun lokal), sebanyak 344 mengikuti seleksi, dan 40 lainnya
berhalangan sebab ada keperluan dan lain sebagainya.
Mengapa membaca Alquran menjadi
topik utama di Lhokseumawe? Kenapa yang mencuat bukan perkara kredibilitas
meningkatkan kinerja untuk rakyat? Apalagi seleksi ini sebagai salah satu
syarat pendaftaran calon legislatif. Ya, sebab Aceh (NAD) adalah satu-satunya
provinsi di Indonesia yang memiliki izin aturan otonomi untuk menerapkan hukum
Islam (Qanun Jinayah) sebagai hukum formal.
Jadi, bisa dikatakan bahwa
nafas Islami sangat kentara di sana, tidak terkecuali untuk Lhokseumawe, dan
akhirnya, tentang Alquran–pun menjadi topik utama. Sebab sejauh yang aku
pahami, jarang sekali di beberapa daerah Indonesia yang menggaungkan relevansi
Bacaleg dengan Alquran. Bisa jadi, ini adalah snowball effect dari
berbagai penggorengan isu agama yang dibenturkan ke banyak topik yang
menggelikan akhir-akhir ini. Yang kalau ditarik ke belakang, penggorengan ayat
Alquran sudah terjadi sejak masa kampanye era dulu, seperti ayat ‘wa laa
taqrabaa hadzihi syajarota’ yang dipakai untuk jangan memilih Golkar, dan
lainnya. Entah.
Di lain daerah, Gubernur Jawa
Barat terpilih, Ridwan Kamil menginisiasi program ‘satu desa satu hafidz’ yang
nanti mekanismenya dibantu oleh menajemen koleganya, Aa Gym. Ada juga program
‘one day one juz’, ‘maghrib mengaji’, ‘nusantara mengaji’ hingga game
dan mp3 music box mode khusus playlist Alquran, dan sebagainya.
Yang sebenarnya, tradisi pesantren telah lama bercumbu dengan hal-hal demikian
dengan istilah yang sangat sederhana.
Dari sini, aku jadi mikir, seharusnya,
ada terobosan semacam ‘Sekolah Legislatif’ pra pendaftaran Bacaleg, misalnya 3
bulan sebelum dibukanya pendaftaran, yang nanti salah satu materinya adalah
Baca Tulis Alquran, apalagi sampai program tahfidzul quran bagi Bacaleg,
lalu nanti ada program sima’an Alquran di gedung DPR, biar terbiasa
dengan kalam Tuhan –meminimalisir korupsi, meskipun ini sulit diterapkan di
negeri pluralis, tapi agaknya ini menjadi point tersendiri untuk mentradisikan
Alquran (sebagai kitab suci Islam, agama mayoritas di Indonesia).
Menurutku, terlepas dari
alasannya, model baru ini bisa dijadikan
‘alat’ untuk ‘menggoreng’ agama dengan baik -mentradisikan Alquran pada poltik
Muslim, tentunya dengan langkah yang nyata, jangan cuma koar-koar dan
menggiring opini lewat twitter, pesbuk, atau quote-quote ngawur
di instagram. (Ade Chariri)
Komentar
Posting Komentar