Al-Qur'an sebagai Kitab Budaya?
Membincang perihal hermeneutika al-Qur'an yang masih menjadi sorotan dalam dunia akademik kajian al-Qur'an, maka sama halnya berbicara tentang universalitas al-Qur'an. Salah satu tokoh yang cukup "seksi" untuk dibahas ialah Nashr
Hamid Abu Zayd, yang mengatakan bahwa Alquran adalah sebuah teks yang mengatasi
dan melampaui teks-teks lain dalam sejarah. Konsep tersebut bertolak belakang
dengan apa yang diungkapkan oleh para revisionis barat yang menyatakan dan
mensejajarkan teks al-Qur'an dengan Injil dalam segala hal, termasuk keasliannya.
Abu Zayd mencoba mengembangkan hermeneutikanya
dengan acuan konteks sosial-budaya yang berlaku. Meskipun penerapan al-Qur'an disesuaikan dengan konteks sosial-budaya, namun Abu Zayd tidak menghilangkan
konsep al-Qur'an adalah wahyu yang otentik--yang merupakan alat komunikasi Nabi dengan Tuhan melalui
Malaikat Jibril. Dengan demikian, apa yang menjadi pemikirannya telah mampu
diterima beberapa akademisi Muslim yang mengkaji al-Qur'an. Beberapa contoh
cara menguji otentisitas al-Qur'an yang dilakukan Abu Zayd adalah
melalui kisah-kisah para Nabi (qashas al-anbiya), seperti kisah Nabi
Zakaria dan Maryam.
Mengapa? Seaba Abu Zayd ingin memberikan
ilustrasi bahwa al-Qur'an diturunkan bertujuan untuk seluruh umat sebagai sasarannya.
Komunikasi yang
terbangun antara Allah dan Rasul-Nya
menggunakan bahasa "langit’" maka sangat mustahil jika teks Alquran dapat
dirubah, hanya saja penafsirannya dapat diinterpretasikan sesuai konteks
sosial-budaya tanpa menghilangkan konsep kewahyuan al-Qur'an.
Menurut Abu Zayd, teks tidak bertindak sendiri, tetapi efektifitasnya dapat terealisasi melalui manusia yang menganggap teks sebagai risalah dan balagh. Sebutan ummi bagi Nabi, justru menjadi "keuntungan" tersendiri
bagi al-Qur'an untuk menunjukkan
perbedaannya dengan Injil, karena Injil temodifikasi dengan teks orang Arab ahli Kitab, hingga pada akhirnya muncul berbagai versi penulisan Injil.
Penulisan teks Alquran yang memuat banyak kemukzijatan, uslub yang indah, serta unsur balaghahnya, sudah mampu
menegaskan perbedaanya dengn Injil, maupun kitab samawi
lainnya.
Komentar
Posting Komentar