Orientalisme dan al-Qur'an
Studi kajian al-Qur'an menjadi semakin menarik pada era sekarang (mulai tahun 2000-an) dengan banyak bermunculan
orientalis maupun akademisi barat yang concern pada studi yang mereka sebut dengan progresifitas al-Qur'an (hermeneutika).
Interpretasi terhadap al-Qur'an menjadi sangat penting dan menarik pada era sekarang. Dalam
memahami al-Qur'an, seharusnyalah tidak parsial (terpisah-pisah). Keberlakuan sebuah
ayat memiliki sasaran dan wilayah masing-masing, ada beberapa ayat yang
bersifat lokal-temporal dan ada beberapa ayat yang sasaran hukumnya bersifat
universal. Sifat ayat yang "lokal" ini bukan berarti mempunyai makna bahwa ayat
tersebut hanya berlaku pada satu wilayah saja, namun pesan moralnya dapat
diterapkan dalam wilayah lain yang relevan dan membutuhkan interpretasi
tersebut dengan kritis dan ilmiah.
Keraguan
beberapa orientalis-yang skeptis-terhadap otentisitas al-Qur'an sebagai kalam Allah, sebenanrnya telah terbantahkan dengan sendirinya, misalnya dengan Q.S. al-Ikhlas, dengan makna teologis dan ritme surah yang sastrawinya. Seiring dengan perkembangan kajian
filologi di Barat terhadap al-Qur'an, memberi sedikit ilustrai
bahwa pemahaman terhadap al-Qur'an harus bermula pada teks sebagai objek kajian,
karena di dalam teks terdapat gramatikal bahasa Arab abad ke-7, dan sejarah perkembangan suatu
bangsa atau kabilah dalam masa turunnya al-Qur'an di Arab. Bermula dari teks itu kemudian dikontekstualisasikan.
Sebagai contoh, konsep Angelika Neuwirth-sebagai wujud dari orientalis-yang mencoba mencari kembali peran al-Qur'an pada masa pra-kanonisasi
dan fokus pada satu ayat yang bersifat integral (holistik, menyeluruh), sebenarnya berhasil menjawab
tentang kegelisahan pemaknaan ulang terhadap ayat al-Qur'an bagi orientalis yang skeptis tersebut. Oleh karenanya, Neuwirth ingin sekali memahami sebuah satuan ayat secara integral, agar dapat mengetahui unsur mendalam sebuah ayat, karena memang pemahaman terhadap al-Qur'an tidak boleh parsial, ada konsep
munasabah ayat di dalamnya.
Perkembangan
hermeneutika al-Qur'an sebagai salah satu tawaran konsep filosofis sepertinya dibutuhkan
pada era sekarang. Dengan adanya prinsip hermeneutika, setidaknya para
akademisi yang fokus pada studi al-Qur'an, dapat menemukan pesan moral sebuah
ayat yang dapat difungsikan pada era sekarang sesuai dengan kebutuhan yang
relevan. Berbeda dengan Neuwirth, apa yang ditawarkan Edward Said merupakan hal yang bisa dikatakan sebagai
konsep yang ambigu dalam studi al-Qur'an, karena Said mengabaikan pembawa pesan al-Qur'an (Nabi Muhammad), komunitas, serta tradisi yang dibawanya, namun sebagai orang "timur", Said berhasil mengkritik para sarjanawan "barat" yang menganggap bahwa "timur" merupakan satu kesatuan yang terhegomoni oleh pemikiran "barat".
Untuk meladeni apa yang dikeluhkan oleh orientlis yang skepstis terhadap al-Qur'an, beberapa konsep
hermeneutika atau model interpretasi lainnya dibutuhkan disini, termasuk milik Neuwirth, sekalipun Neuwirth hanya menandai peran al-Qur'an pada masa
pra-kanonisasi yang erat kaitannya dengan Gereja dan Injil. Namun justru karena hal itu, maka kajian yang ditawarkan oleh "barat" menjadi semakin menarik. Sampai kapanpun, al-Qur'an akan tetap otentik, oleh sebab itu, kajian dan atau penafsiran al-Qur'an akan selalu menarik. Setidaknya demikian maksud "menarik" di sini jika ditinjau dari paradigma orientalis dan al-Qur'an.
Komentar
Posting Komentar