Putra Bangsa Penjaga Al-Qur'an


sumber: google/qowimnet
-Ade Chariri

Cerita singkat ini sengaja saya tulis semata-mata untuk mengenang 1000 hari wafatnya Guru besar kami (baca; santri An-Nur khususnya) pada tanggal 15 September 2017. Saya mulai dari, tepat saat berita gempa Jogja 2006 sampai ke telinga, saya putuskan untuk menunda sowanku pada Simbah Kiai Nawawi (Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren An Nur). Beliau salah satu 'putra terbaik bangsa' penjaga otentisitas al-Qur’an. Seorang al-Hafidz masyhur dan seorang suami dari Simbah Nyai Walidah Moenawir. Cerita ini sengaja dikembalikan pada tahun 2006, karena di tahun itulah, niat untuk ‘menjarah’ ilmu dan ngalap barakah beliau sudah terbesit, ternyata takdir tak berpihak. 
 Saya menginjakkan kaki di tanah Jogja pertama kali pada 2010, melihat gagah dan kharismatiknya Simbah membuat saya semangat mengikuti seleksi mengaji dengan Pengurus Pondok saat itu agar segera bisa mengaji bersama Simbah, dimulai dari Juz 'Amma. Di tengah proses panjaaang itulah, nampaknya Tuhan mulai memberikan ‘jam istirahat lebih’ kepada Simbah, singkatnya; Simbah mulai sering gerah (sakit). Dari situ, entahlah spirit menjadi lemah, harapan nyaris punah untuk terus mengaji dan ngalap berkah. Saestu ini tidak dibuat-buat, karena memang dulu sebelum masuk di Ngrukem, saya terlebih dahulu sudah mengetahui profil beliau, di situlah keyakinanku wujud. Hingga akhirnya, Simbah Kiai kapundut (meninggal dunia) pada tanggal 24 Desember 2014, dan pada tanggal 15 September 2017 adalah tepat 1000 hari wafat beliau. Allahummaghfirlahu Warhamhu Wa’afihi Wa’fu’anhu.
Khusus ini, tak mau berlama-lama hanya dengan menuliskan kerinduan saya padanya. Rasanya tak cukup untuk mengilustrasikan ke-khos-an beliau. Hingga dimana waktu menempatkan saya dalam komplek mahasiswa, dulu namanya komplek mahasiswa Pancasila karena penghuninya sok pancasilais, sempat ganti nama jadi komplek mugiwara karena mayoritas penghunianya pecinta anime luffy topi jerami-kun, hingga yang legal yaitu komplek Nurul Huda.
Di tahun 2017 inilah, rasa kehilangan itu muncul kembali dengan kuat. Sempat saya berkeliling komplek mencari buku, dan kopi tentunya. Saya lihat banyak rak buku (termasuk milik sendiri), juga rak buku milik tetangga. Memang benar, komplek mahasiswa identik dengan buku yang anti-mainstream--katanya). Karena kulihat yang dilambaikan pemilik buku kebanyakan tentang filsafat, sosiologi, psikologi, hukum, kedokteran, dan lain-lain juga kecantikan (eh).
Entah kenapa tangan ini lebih tergoda ‘melucuti’ buku karya Simbah, ‘Alaikum Bissawaadil A’dzam, buku tentang Ahlussunah wal Jama’ah dan sekte-sekte. Namun, bukan buah bukunya yang mampu menginspirasi (bukan karena bukunya tidak layak, hanya kebetulan). Seketika saja teringat dawuh fenomenal beliau; Kabeh Santri Kudu Ngaji, Nek Ora Ngaji Yo Mulang. Dawuh tersebut kurang lebih mempunyai makna bahwa label santri tidak bisa dilepas dari ngaji. karena entah di-ajar maupun mengajar, esensinya satu; Ngaji.
Ndilalahnya, sebelumnya sempat ngaji kitab Bustanul ‘Arifin yang didalamnya ada hadits yang beresensi sama dengan dawuh tersebut; Laa Khaira Fii Man Lam Yakun ‘Aaliman Aw Muta’aliman. Dalam benak semakin yakin saja bahwa beliau salah satu kekasih Allah--sebagai wujud manifestasi al-Qur'an. Wallahu A'lam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semiotika Surah Al-Kahfi

Sisi Lain Covid-19

Alquran dan Sastra Narasi