New Year Hijriah, Tak Salah Jika Hijrah

Sumber: google/digtara.com



        Pancaroba zaman memang tak bisa dihindari oleh siapa pun di muka bumi ini, terkadang manusia dituntut untuk masuk ke dalamnya atau keluar dan menikmati hidup sesuai passion. Bicara soal passion pun, manusia gak ngerti-ngerti amat apa itu passion. Ada beberapa manusia diajak berorganisasi gak mau dengan alasan; passion saya di akademik kok, ada pula yang diajak bersosial gak mau dengan alasan; passion saya di bisnis loh. Ada pula yang diajak berpikir keras, dia jawab; passion saya kerja lapangan, titik. Untungnya dan semoga jangan sampai ada yang ketika diajak beragama dan berakhlak, lalu dijawab dengan; passion saya begal orang, titik. Itu kan ngeri bin medeni.
        Ingat, bahwa Tuhan meng-anugerahi manusia bakat dan minat, memang terkesan abstrak ketika ada seorang manusia yang sebenarnya memiliki bakat, tapi justru tidak minat pada bakatnya tersebut, atau sebaliknya. Tidak ada yang tau seratus persen bahwa di zaman istiqbal (masa depan) kita bakal jadi apa?. Apa kita sudah bisa memastikan bahwa apa yang kita lakukan sekarang adalah jerih payah cerminan kita di masa depan? Afala tatafakkarun?, begitu kurang lebih tugas kita sebagai perencana.
        Tak sedikit beberapa dari kita menganggap kesuksesan adalah akhir dari perjuangan manusia dalam menjadi manusia. Sebagai mahasiswa (yang kuliah di Jogja misalnya, seperti saya), ada tipikal manusia yang fokus dan menekuni satu prodi atau konsentrasi saja, ada pula tipikal manusia yang memang haus terhadap keilmuan atau lainnya, atau bahkan yang kuliah hanya sekadar kuliah dan  bisa wisuda sarjana, pascasarjana dan seterusnya,
        Ada baiknya--tanpa memaksa--ketika kita telah menganggap diri kita sukses dalam satu point kehidupan, kita berhijrah, kita pindah, kita tambah dan kita ubah mindset kita bahwa ‘ini belum cukup’. Rasul memberikan signal (yang dulu sempat saya baca dalam kitab hadits Arba’in Nawawi), bahwa untuk mencapai kesuksesan (yang lebih) kita harus hijrah. Hal itu berangkat dari analisa saya di Jogja bahwa tak sedikit mahasiswa sangat nyaman dengan zona-nya. Dia tak mau menambah wawasan dan kadar kehidupan yang lebih baik. Kerjaannya ya hanya kuliah, bubar, ngopi ngudud tongkrong, kadang sambil baca buku, ngaji kartu remi atau gaple, diskusi termasuk disfungsi.
        Makanya, saya bilang ‘ada baiknya’ kita hijrah setelah dirasa cukup pada salah satu tujuan hidup. Rasulullah saja hijrah dari Mekkah ke Madinah untuk mencari kehidupan yang lebih baik, dan hijrah bukan sekedar pindah, lebih dari itu. Terlebih ketika kita sedang di kota A misalnya tengah mengalami pressure hebat, maka hijrahlah (dengan niat terbaik), atau barangkali jika kita punya niat mulia untuk memperbaiki sebuah wilayah yang kita huni.
        Begini kata Hadits; “semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan, barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia diniatkan” (HR.Bukhari : 52).
        Hadits ini mungkin bisa dikatakan sumber dari segala nilai dan kadar kelakuan kita sebagai manusia yang dimulai dari niat, bahkan di beberapa versi menyebutkan bahwa Imam Ahmad dan Imam Sayafi’i berpendapat hadits tersebut mencakup sepertiga dari ilmu. Sudahlah, memang sebagai manusia tak perlu muluk-muluk, sudah sesuai dengan passion kita saja sudah cukup kok, tapi juga tak ada salahnya jika hijrah ke lingkungan yang lebih baik dan meng-upgrade kulaitas hidup, kalau-pun ketika kita hijrah dan tetap saja stagnan, atau bahkan bisa jadi lebih brandal, ya jangan salahkan tempatnya, salahkan niat kita yang tidak mulia.
        Tengok saja, matahari pagi indah yang terbit di ufuk timur, dia harus hijrah ke barat agar lebih indah, lalu dia menjadi senja yang banyak dirindui manusia, terlebih untuk mereka yang sedang jatuh cinta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semiotika Surah Al-Kahfi

Sisi Lain Covid-19

Alquran dan Sastra Narasi