Bersosmed Ala Hikam


Sumber: google/turotspustaka



        Bagi sebagian kalangan yang gandrung akan kesufian atau pencari jati diri kehidupan, paling tidak harus kenal dengan kitab tasawuf satu ini, al-Hikam karya Ibnu Athaillah as-Sakandari. Seorang ulama sufi kelahiran Mesir, dan dikenal seantero dunia. Banyak dikaji dan menjadi salah satu rujukan utama bertasawuf. Dalam al-Hikam mencakup banyak kalam hikmah bagi manusia untuk dapat menuju ma’rifat, atau paling tidak si manusia dapat mengatur hidupnya agar tidak lalai dalam perkara dunia. 
        Yah, meskipun kebanyakan manusia (seperti saya) sangat ingin ‘menguasai dunia’. Artinya, dengan sinau al-Hikam, paling tidak kita bisa menghadapi masalah dunia dengan slow, kalem dan berkelas. Atau istilah lainnya, kita bisa menjadikan dunia dalam genggaman kita dan mengaturnya layaknya pemilik dunia itu.
        Flashback, Alhamdulillah saya mengaji al-Hikam pada dua guru yang berstatus Gus dalam sebuah pesantren di mBantul Jogja. Sanad (rantai keilmuan) pertama saya dapat dari Gus Machin, saat aku duduk di bangku Aliyah, dan sanad yang kedua saya dapat dari Gus Rum, yang sampai sekarang masih belum khatam dengan beliau (karena saking sibuknya saya sebagai santri sekaligus mahasiswa, apalagi sekarang masuk usia pasca, nggaya).
        Masuk pada era milenia seperti sekarang, manusia mulai banyak diganggu dengan kepentingan-kepentingan yang terkadang mengalahkan hakiki kehidupan. Tidak sedikit --kalau tidak mau dikatakan banyak-- manusia yang sedikit-sedikit menunjukkan eksistensinya lewat medsos, bahkan terhadap hal-hal yang bersifat ukhrawi. misalnya sedang ngaji-upload, sedang haji-upload, sedang kegiatan sosial-upload, sedang makan-upload. Mending saya, uploadnya kalau pas ngopi dan nonton bola. Tapi kan sama-sama upload eh. Sudah.
        Artinya begini, semua itu ada plus-minusnya. Saat manusia menunjukkan eksistensinya di medsos ketika melakukan amal ukhrawi, bisa jadi itu sebagai syiar keagamaan ataupun kemanusiaan (alasan yang lumrah bin biasa), tapi minusnya adalah; kita seperti menjadi manusia yang kurang memiliki nilai privasi, sehingga susah untuk ikhlas (yah meskipun derajat ikhlas itu sangat susah, bahkan tetap susah meskipun sudah berusaha bersusah-payah).
        Seolah menjadi sebuah kejumudan bagi sebagian kalangan yang apa-apa upload, sehingga ketika mereka demikian dan direspon negatif oleh beberapa netizen, akhirnya dapat masalah. Dan terkadang masalah tersebut menjadikan susah untuk berkembang dan move on, lebih-lebih anak-anak seusia sekolah yang sudah main cinta-cintaan (tapi bukan itu intinya).
        Maksudnya adalah, dalam era milebnial, manusia mudah membuat masalah lewat apapun, termasuk lewat media sosial --dengan niat yang salah terkadang kaprah pula. Menurut al-Hikam, sebagai manusia kita harus selalu meng-upgrade niat setiap harinya, dituturkan; man asyraqat bidayatuhu, asyraqat nihayatuhu (barang siapa yang bersinar di awal --perjalanannya-- dia akan bersinar di akhirnya).
        Ketika kita selalu memperbaiki niat di setiap kita mengawali hari, bukan tidak mungkin hasil yang kita capai (setidaknya di hari itu) akan lebih baik. Lalu, bagaimana dengan niat kita bersosmed?
        Pertama, belajar ikhlas tidak ada batas. Oleh al-Hikam, manusia harus belajar beramal tanpa mengharapkan apa-apa, termasuk pujian (lewat medsos), apalagi reward“Bukanlah seorang yang mencintai itu yang meminta apa-apa dari yang dicintai, melainkan seorang yang cinta kasih itu sesungguhnya ialah yang berkorban untukmu, bukan yang engkau beri apa-apa kepadanya". Maknanya; manusia diharuskan untuk mencintai Allah (mahabbah Ilallah), maka cukuplah hanya meminta apa-apa dari Allah, bukan dari manusia. Manusia setidaknya terus berkorban (untuk menjaga privasi amalnya, agar tidak riya’ maupun sum’ah) untuk dapat menerima hadiah real dari Tuhannya.
        Kedua, “Bagaimana engkau akan meminta upah terhadap suatu amal yang Allah sendiri menyedekahkan kepadamu  amal itu, atau bagaimana engkau meminta balasan atas suatu keikhlasan, padahal Allah sendiri yang memberi hidayah keikhlasan itu kepadamu?”. Memang, sangat sulit memahami makna pas dari al-Hikam ini, setidaknya begini; manusia disuruh beramal dengan dilandasi kecintaan pada Allah, tapi manusia dilarang untuk berharap, padahal di satu sisi, tasawuf mengajarkan khauf dan raja’ (takut dan berharap hanya kepada Allah).
        Ketika manusia beramal dan mengharapkan hadiah dari Allah, itu sebuah keabsurd-an dan sebuah perilaku su’ul adab pada Allah, apalagi berharap pada manusia. Bagaimana tidak, loh kita sudah beramal saja karena Allah, lah kok malah minta imbalan sama Allah atas amal kita, apalagi minta imbalan sama manusia perantara sosmed. Bahkan hingga kita bisa ikhlas pun itu karena Allah, lalu kita mau minta imbalan lagi sama Allah karena kita sudah ikhlas?. Coba renungkan. Tapi setidaknya dengan tidak ngeksis di sosmed, karena ketika kita beramal secara sembunyi-sembunyi, merupakan salah satu indikasi ikhlas, menghindari riya’ dan sum’ah, dan kalaupun terpaksa harus ngeksis, niatkan untuk kebaikan.
        Ketiga, Ibnu Athaillah juga mengingatkan bahwa "Kecintaan berlebihan dalam bentuk kerakusan (thama’) menjadi penyebab munculnya kehinaan seseorang". Nah loh, jika tamak dimaknai dengan arti; berharap terhadap sesuatu yang sepertinya tidak mungkin terjadi. Maka, tidak sedikit manusia yang --hina. Gampangnya, era sekarang manusia tidak berpikir mengenai apapun status dan kelebihan apa yang dimilikinya, ketika dia dengan mudah beramal dan dieksiskan, mereka berharap setidaknya begini; ah, upload ah, siapa tau bisa menginspirasi orang lain, siapa tau dapat dilihat pemerintah dan diberi reward, misalnya. Boleh saja dan sah-sah saja mempunyai anggapan demikian, tapi jika ditinjau dari arti Hikamnya, lebih baiknya manusia tidak usah berharap apa-apa, dan hanya boleh melakukan apa-apa sesuai perintah-Nya, dengan niat yang mulia.
        Setidaknya itu saja resep dalam bersosmed. Jika kita memang harus menunjukkan eksistensi kita dalam media, maka niatkan lah dengan niat mulia, seperti dengan tujuan tahadduts binni’mah atau syiar kemanusiaan maupun keagamaan. Belajar ikhlas tidak ada batas, hindari hal-hal yang berbau riya’ dan sum’ah untuk dapat menstimulus acara belajar ikhlas kita. Serta jangan berharap lebih terhadap hal-hal yang sepertinya absurd. Karena bagaimanapun juga di era sekarang ini, manusia tidak bisa lepas bahkan bisa dikatakan butuh terhadap hal-hal beginian (medsos dan eksistensi), namun yang perlu dijaga adalah niat dan harapan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sisi Lain Covid-19

Semiotika Surah Al-Kahfi

Alquran dan Sastra Narasi